MEMAHAMI BUDAYA TIONGHOA

OLEH : Achmad Rohmaddun
Mahasiswa Perikanan UMP Pontianak
 
Pengekangan budaya Tionghoa oleh rezim Orde Baru selama kurang lebih 30 tahun telah meninggalkan bekas yang cukup mendalam bagi mereka. Orang Tionghoa dilarang melakukan aktivitas-aktivitas kebudayaan. Budaya sebagai suatu warisan yang harus dijaga dan diakui keberadaannya pada masa itu seolah-olah tidak dihargai. 
”Masa reformasi, yang telah berlalu sekian tahun lalu kiranya dapat memberikan nilai positif bagi perkembangan budaya Tionghoa,”
Menurutnya, generasi muda khususnya masyarakat Tionghoa yang berumur rata-rata di bawah 40 tahun jika ditanya mengenai budaya Tionghoa pasti tidak tahu atau mengerti dengan budaya mereka sendiri.  Tradisi budaya masyarakat Tionghoa di Kalimatan Barat, sangat beragam. Tradisi itu sudah mengakar dan dilakukan secara turun-menurun. Namun tradisi tersebut sebagian besar masih berupa cerita dari mulut ke mulut. Nilai-nilai yang terkandung dalam beragam tradisi budaya itu bukan hal mudah untuk dicari referensinya. Sehingga tidak mustahil, jika hal itu dibiarkan, tradisi ini akan lenyap seiring berjalannya waktu. 
Reformasi saat ini budaya Tionghoa dibuka selebar-lebarnya, dan selama tidak melanggar hukum kita boleh mengekspos budaya Tionghoa untuk kemajuan budaya Kalbar. Kita akan menemui beragam budaya Tionghoa di Kalimantan Barat, dan sebagian sudah dikenal masyarakat luas. Misalnya, masyarkat tahu adanya Imlek, Cap Go Meh, Kue Bulan, Barongsai, Naga dan lainnya. Tapi bagaimana kisah dibalik itu semua, banyak kita yang belum tahu. Dan juga diuraikan keberagaman budaya Tionghoa tersebut. Dari berbagai tokoh masyarkat dan akademisi serta pengamat sosial kemasyarakatan. Sebut saja misalnya, Prof. Syarif Ibrahim Alqadrie, Prof DR YC Thambun Anyang SH, DR. William Chang, OFM, Cap, H. Abang Imien Thaha, Rahmad Sahudun, Adhie Rumbee serta Usman ja’Far, Zulfadhli dan Ketua Yayasan Bhakti Suci, Lindra Lie.
Siapakah Lie Sau Fat atau X.F. Asali? Ia adalah seorang Tionghoa yang lahir tahun 1932 di Singkawang. Ia mendapat pendidikan di Ai Chiun School (1938-1941) di Pemangkat, Nan Hoa School (1942-1945) di Koelor, dilanjutkan pendidikan Belanda Vervolg Hollands Chinese School (1946-1950) di Singkawang, terus ke Pontianak tahun 1951 mengikuti Vier-jarige-Richting Handelsshool dan tamat tahun 1954. Ia mengawali dunia kerja sebagai kerani (karyawan) di beberapa perusahaan karet, ekspor dan kelontong. Sejak tahun 1971 berwiraswasta di bidang ekspor-impor serta sarana kehutanan dan agrobisnis sampai sekarang. Di sela-sela kesibukannya sebagai narasumber dan pekerja sosial. Rangkaian kultural ini dapat diibaratkan dengan mozaik yang indah dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa yang sekurang-kurangnya layak dipandang dan akan lebih baik kalau sungguh-sungguh diteliti. Dapat memberikan paparan bahwa keanekaragaman budaya penting untuk diketahui oleh orang banyak agar apabila sudah paham akan hal itu maka menimbulkan rasa saling menghargai yang tinggi antar masing-masing budaya yang berbeda.(*)



Category: