Seberkas Kenang Yang Enggan Hilang (2)

           Aku tidak sedang berada dibawah bayang masa lalu. Hanya saja terkadang rindu membuat mataku sedikit buram, tak bisa membeda mana waktu sekarang dan mana pula yang silam. Rindu itu tidaklah begitu besar, hanya saja ia suka menampar, dan datang dengan potongan-potongan kecil, tapi runcing. Ya, seperti sawang, takkan tahu dengan cara apa ia dibuat, tiba-tiba saja sudah menempel di sudut dinding. 
            Mungkin kekasihku akan cemburu bila ia tahu aku sedang menulis kenangan kita. Tapi tenang, aku sudah menyiapkan jawaban untuk membela keadaan ini. Kau mau tahu? jikalah ingin, tentu aku takkan memberi jawabnya. Pastilah ia sudah tak percaya bila ia membaca tulisan ini. Ha,,ha kita tertawa sajalah. Dan akupun sudah menyiapkan alasan kenapa aku mengajakmu tertawa. 
             Mungkin rasa cinta akan membenciku, kenapa masih saja tak bisa melupa pada yang sudah tak ada. Tapi, aku tak khianat bukan. Toh, aku hanya menulis. Tidak dengan nyata mencari keberadaanmu atau sengaja mencari yang mungkin nyaris kembar denganmu di bumi. Aku hanya mengundangmu datang dalam ingatan sesekali, ketika hatiku benar-benar ingin. Ketika hatiku perlu belajar tentang arti kehilangan. 
             Mungkin huruf-huruf akan jenuh padaku, selalu saja tentang kita yang aku susun jadi paragraf rindu. Padahal, ada banyak hal lain yang bisa disulam jadi rangkai kata. Tapi, aku hanya mengikuti kata hati, membiarkan jari menari sendiri. dan Tak bisa kubendung, masih tentang kita dan kerinduan yang terus mengalir, membanjiri ruang akal. 
Category:

Seberkas Kenang Yang Enggan Hilang (1)

        Kau adalah Besit yang sering datang. Membawa keping bayang yang semarak. Padahal kutahu, kau cuma dipikiranku, bukan disisi tubuh atau di dekat tinjau mataku. Tapi entah, mengundangmu dalam sebuah ruang ingatan, menjadi semacam pengobat luka. Tak jarang aku tersenyum sendiri, meski diakhir lamunan, luka kembali menjadi penutup. Karena kusadar kisah tentang kita sudah benar-benar ditutup. Penutup dari segala penutup. Ya, Tak mungkin diputar meski hanya sedetik tayang.
         Sumpit. Benda itu mengingatku padamu. Kala saku cuma menyimpan dua lembar uang, kita putuskan berjajan mie ayam di pinggir jalan. Meski cuma tepung keriting yang kita santap, tapi selera makan kita tergugah. Karena kita dalam satu meja makan, dalam satu cinta di peraduan. Lalu kau yang bukan seorang pendandan, mulai memperagakan cara memegang sumpit ala orang urban. Dicapit, diputar, secukupnya lalu lahaplah sayang. begitu cara sederhanamu memperagakan. Dan kala pulang, aku sadar, hanya kau yang membuat hal biasa menjadi luar biasa, dengan cinta yang kau punya.
          Goblok. Kata itu mengingatkanku padamu. Kala kita bersitatap, kita tahu sinar itu begitu lekat. Saat Hari-hari membuat kita jemu, selaksa canda kita adu. Meski cuma sepotong upil, tapi itu sudah membuat kita mengurai tawa. Dasar goblok, begitu saja tak bisa kau ini, sayang. Kalimatku tak kau anggap hinaan, tapi justru memancingmu untuk berkata sayang. Ah, tak jarang pula "kata" itu kau lemparkan padaku. Dan entah , aku merasa tersanjung begitu dalam.       
          
Category: