Puisi

Sekuntum bunga dari marga rosa
Ia species lady banks yang tiada berduri
Berwarna lembayung muda
Harumnya membunuh kortisol dalam darah, sejukkan jiwa
11/7/08

tubuh hanya akan renta
tentulah itu bukan motif tunggal membangun cinta
sunatullah waktu pasti pudarkan indah kulit
mentari akan uraikan elastin
dan juga kolagen,
elastisitas kulit kelak menyurut, berujung keriput

juni 2008

cukuplah hati yang bekerja menangkap cahaya pesonamu
tak usah menembus kornea dan pupil
tak juga diafragma iris yang berwarna

tak perlu lensa mata agar cahaya terlempar ke fokus cahaya

--------------
24 Sept 2008
Jasminum...

Jasminum sambac nan elok di pekarangan
Berkeringat embun, terkilau surya
Hangatkan suasana pagi
Musnahkan buruknya mimpi

tiada ulat papita mengunyah dahanmu
tidak pula patogen embun jelaga menutupi putihmu
bukan juga jamur upas busukkan cabangmu
atau bercak hawar bunga gugurkan pesonamu

mekarlah selalu, karena telah kusiapkan semua parasitoid untuk melindungimu.


26 sept 2008
secantik Hippeastrum
sekokoh Roystonea regia

----
1oktober 2008

bila Kulit terluka, ada mitosis sel-sel dlm lapisan malphigi yang menyembuhkan.
tapi jika hati yang teriris, hanya maaflah yang sanggup menyembuhkannya.
jiwa dan inderaku sring silap bersikap.
tolong beri Maaf lahir dan batin, kawan.


Rindu itu ...
seperti daun yang butuh Zn
bila kurang, ia akan mengalami klorosis
seperti tunas yang butuh auksin
seperti akar yang butuh rhizokalin
seperti fotosintesis yang butuh cahaya matahari
seperti itulah rinduku.
oleh Neo-dew (15 Oktober 2008 at 08:33 a.m)

seperti bakteri aerob apabila ada O2 maka ia akan mati
seperti mikrobia obligat facultativ
ia akan mencari tempat yang sesuai untuk pertumbuhan dirinya
seperti virus yang selalu membutuhkan hospes
aku kangen kamu..
oleh Neo-dew ((15 Oktober 2008 at 08:33 a.m)


lazzaro spanalazi takkan mengerti apa menariknya bagiku mengamati gerak kata di lensa mikroskop hatiku yang kurangkai untukmu.
22 nov 2008
Category:

Wabah Klasik Kembali Mengusik

MASALAH flu burung atau wabah virus H5N1 kembali menggigit Indonesia. Masalah ini telah merambat pada permasalahan kemanusiaan lainnya. Penyakit baru yang rentan terhadap risiko kematian tersebut memang telah menyedot perhatian kita semua.

Namun,jangan lupa kita masih menyimpan satu jenis penyakit lama yang tak kalah hebatnya dalam menyedot nyawa manusia Indonesia.Wabah penyakit klasik itu adalah demam berdarah dengue (DBD). Dari laporan Departemen Kesehatan, sampai pekan ketiga Januari,jumlah kasus tersebut berjumlah 2.270 orang dengan 17 di antaranya meninggal. Meskipun risiko akan kematiannya lebih kecil dibanding flu burung,DBD tidak boleh diabaikan begitu saja.

Jika dilihat dari penyebabnya, ada persamaan dari kedua jenis penyakit itu. Flu burung dan DBD ini terjadi karena lingkungan yang tidak bersih.Kurangnya informasi terhadap penyakit tersebut juga membuat masyarakat menganggap enteng laju penyebarannya.Karena itu, perilaku mereka tetap tidak berubah; masih membiarkan lingkungan mereka kotor. Ironisnya, Jakarta sebagai ibu kota negara ternyata tidak bisa menjadi teladan untuk masalah perilaku sehat dan bersih ini.

Seperti pada kasus flu burung, kasus DBD di Jakarta juga paling banyak terjadi dibandingkan dengan provinsi lainnya. Meski bulan ini jumlah yang meninggal baru satu orang, kasus yang terjadi mencapai 968 buah. Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Dari pihak pemerintah, harus segera membuat rencana strategis penanggulangan penyakit DBD.

Selain itu, pemerintah perlu mengembangkan teknologi pemberantasan, mengembangkan pedoman pemberantasan, memberikan pelatihan dan bantuan teknis, melakukan penyuluhan, dan meningkatkan kualitas air bersih kepada masyarakat. Masyarakat sendiri dapat berperan secara aktif dalam pemantauan jentik berkala dan melakukan gerakan serentak pemberantasan sarang nyamuk (PSN).Terlebih lagi pola hujan yang tidak menentu membuat penyebaran DBD ini tidak terduga.Karena itu,kewaspadaan perlu ditingkatkan.Berbagai gerakan yang pernah ada di masyarakat seperti Gerakan Disiplin Nasional (GDN),Gerakan Jumat Bersih (GJB),Adipura, Kota Sehat, dan gerakan-gerakan lain serupa dapat dihidupkan kembali untuk membudayakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Jika ini dilakukan maka selain penyakit DBD maka penyakit-penyakit lain yang berbasis lingkungan seperti leptospirosis, diare, dan lain-lain juga akan ikut terberantas.Tanpa adanya kerja sama yang baik antara masyarakat dan pemerintah,nyamuk aedes aegypti akan terus memburu nyawa orang-orang yang tak mau peduli pada lingkungannya
Category:

Kembali Kepada Kearifan Lokal

Solopos, 24 Februari 2009

“Apabila pohon terakhir sudah dibabat, burung terakhir sudah ditembak, ikan terakhir sudah dipancing, dan sungai terakhir sudah menjadi kering, manusia toh tidak bisa makan uang”. Demikianlah ungkapan green peace dalam memandang hubungan manusia dengan alam yang semakin tidak harmonis. Manusia yang memiliki kehendak bebas (free will) melalui kekuatan akal-pikir, telah mengeksploitasi alam tanpa batas. Akibatnya, alam bereaksi dengan meluapkan aneka bencana kepada manusia.

Dampak perubahan iklim (climate change) telah menyebabkan banjir di wilayah pantai, kerusakan hutan/degradasi lahan dan deforestasi menyebabkan banjir bandang (flash flood), Bencana angin ribut (hujan lebat disertai angin kencang) makin sering terjadi akibat perbedaan tekanan udara dan perubahan penggunaan lahan, dan masalah klasik akibat kebakaran hutan dan lahan gambut telah menyebabkan kabut kembali malanda Sumatera dan Kalimantan.

Sungguh ironis, limpahan potensi alam di negeri ini yang seharusnya menjadi sumber kesejahteraan rakyatnya, malah menjadi momok menakutkan yang sewaktu-waktu dapat mengancam jiwa mereka. “Potensi kekayaan alam” seolah telah menjelma menjadi “potensi bencana alam”. Bahkan orang yang tak pernah terlibat ataupun menikmati langsung hasil dari eksploitasi alam, terpaksa harus turut merasakan penderitaan karena bencana. Jikalah kerugian fisik akibat bencana alam dapat dihitung dan dibangun kembali, tetapi bagaimanakah dampak non-fisik seperti traumatik, kehilangan mata pencaharian, jumlah anak yatim piatu dan masalah sosial lain, tentu tidak akan selesai dengan sekejap.

Memang, harus kita akui pembangunan atas dasar modernisasi tengah dilakukan pemerintah dalam rangka mensejahterakan masyarakat. Tetapi di sisi lain, berbagai perusakan dan penghancuran ekosistem alam berjalan lebih kuat. Ekploitasi alam kerap tidak memerhatikan prinsip keberlanjutan di lingkungan sekitar pembangunan. Sebagai contoh, penambangan emas tanpa izin (PETI) berlangsung tanpa kendali membuat merkuri mencemari sungai. Padahal, sungai merupakan sumber kebutuhan hidup masyarakat, baik sebagai sarana transportasi maupun untuk mencuci pakaian, mandi, dan kebutuhan air minum.

Hal yang sama ironisnya dalam kasus tambang, rakyat setempat lebih banyak ditinggali lubang penuh limbah dan lahan yang kritis, sementara keuntungan ekonomis pertambangan lebih banyak dinikmati pemilik modal dan oknum pemerintah yang korup. Sedangkan kerusakan hutan, menurut data Global Forest Resources Assessment 2005 (FAO, 2006) menunjukkan, Indonesia adalah negara kedua yang kehilangan hutan terbanyak di dunia setelah Brasil, yakni 1,871 juta hektare/tahun antara 2000–2005.

Di lingkaran kapitalisme seperti itulah, Alam tidak lagi dipandang sebagai kesatuan yang utuh menyatu bersama masyarakat manusia. Namun, alam cenderung dilihat sebagai sisi lain kehidupan yang bisa dikeruk semaunya demi mendapatkan keuntungan sebesar-sebesarnya. Dengan kata lain, Konservasi lingkungan dan sosial-budaya telah dikorbankan demi kepentingan ekonomi.

Nilai bijak kearifan lokal

Maka dari itu, tindakan kita -sebagai warga negara maupun manusia bebas- hendaknya terus-menerus melakukan proses empati kepada alam. Kerusakan alam karena ulah tangan manusia seharusnya turut dipandang sebagai kehancuran masyarakat manusia. Pola pikir yang partisipatoris membuat manusia juga memikirkan nasib makhluk lain dalam bertindak di muka bumi ini. Pembentukan mindset seperti ini harus dilakukan pemerintah melalui peningkatan kualitas pendidikan yang berbasis kearifan lokal.

Sebenarnya kearifan lokal masyarakat (local wisdom) ini sudah ada di dalam kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman pra-sejarah hingga saat ini, kearifan lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat.

Hanya saja di era teknologi maju ini, nilai-nilai tradisi di daerah-daerah telah diabaikan. Sebut saja salah satu acara pada upacara merti deso atau bersih desa di beberapa desa di Jawa, yakni bersih kali dan bersih lingkungan rumah (merti pomohan). Meskipun upacara adat ini berupa ritual untuk berterimakasih kepada Tuhan karena panen telah berhasil, sekaligus juga menghormati para Hyang-hyang di sungai atau di pohon-pohon besar. Apapun spritual yang hidup dalam upacara itu, tetapi nilai-nilai yang terkandung adalah nilai positif untuk senantiasa menjaga lingkungan hidup.

Contoh lain dapat tersaji dari kearifan lokal suku di Papua yang memegang teguh kaidah ”hutan adalah mama”. Artinya mereka yang menebang hutan, apalagi secara liar atau tanpa izin, sama dengan membunuh ibu mereka. Kearifan lokal milik nenek moyang yang amat mulia dan membawa keseimbangan alam atau hutan itu cenderung dilupakan. Penduduk asli dengan tekun memelihara hutan disekitar tempat hidupnya karena beranggapan hutan adalah sumber kehidupan, anugerah Tuhan. Hutan merupakan lahan komunal, tidak ada seorangpun yang bisa mengklaim kawasan hutan sebagai hak milik individu.

Dengan menerapkan kearifan lokal bukanlah berarti sebuah kemunduran, tetapi sebaliknya kearifan lokal akan membuat kita lebih bijak dalam mengelola alam. Inti kearifan lokal ini adalah bagaimana memandang dan mengelola sumber daya alam itu sedemikian rupa sehingga memberikan perimbangan yang proposional sesuai kebutuhan.

Tanpa mengesampingkan faktor ekonomi, Sumber daya masyarakat lokal beserta kearifannya harus diarahkan untuk membangun manusia yang bermutu; baik secara akal-pikir maupun perilaku. Selain itu juga, kebutuhan mendesak hari ini yaitu penegakan hukum yang total di negeri ini. Hukum yang ditegakkan bukan saja memberikan semacam kepastian pada rakyat. Tetapi lebih dari itu, hak hidup rakyat dalam mencapai kesejahteraan pun harus terpenuhi. Tentu saja kesejahteraan yang tanpa harus dibarengi dengan rasa ketakutan akan bencana.

Category:

KELUARGA BERENCANA MENCEGAH BENCANA

Oleh BAZARUDDIN AHMAD
(Kompas, 22 Maret 2008)


Saat ini penduduk Indonesia berjumlah 227 juta jiwa, dengan tingkat pertumbuhan 1,3 persen pertahun (Kompas, 13/3 2008). Angka tersebut berada di urutan keempat penduduk terbanyak di dunia. Sebaliknya, kualitas penduduk sangat memprihatinkan dengan melihat rendahnya Human development indexs (HDI) yang menempati urutan ke-108 dari 177 negara. Jika proyeksi 25 tahun ke depan Indonesia berpenduduk 300 juta jiwa benar-benar terjadi, bukan tidak mungkin bencana yang lebih parah akan menimpa negeri ini.
Dua anak cukup! Keluarga Kecil, Keluarga Bahagia! Semboyan ini sempat akrab di telinga masyarakat Indonesia di era tahun 80 hingga 90-an. Iklan layanan dari program Keluarga Berencana (KB) ini, ketika itu tak pernah berhenti disuguhkan melalui beragam media informasi. Bahkan, karena keberhasilan menekan laju pertumbuhan penduduk, PBB menetapkan Indonesia sebagai salah satu pusat rujukan di bidang kependudukan, keluarga berencana, dan kesehatan reproduksi.
Namun, sejak era otonomi daerah, program KB mengalami kelesuan. Pemerintah daerah hanya sibuk meningkatkan pendapatan daerahnya dengan mencari investor disana-sini, tetapi tidak pernah memperhatikan betapa pentingnya penyadaran masyarakat tentang keluarga berencana. Padahal, program yang salah satunya bertujuan menahan laju pertumbuhan penduduk tersebut dapat membantu meringankan pemerintah untuk memenuhi hak-hak dasar warganya.
Menurut Thomas Robert Malthus pertambahan jumlah penduduk adalah seperti deret ukur (1, 2, 4, 8, 16,...), sedangkan pertambahan jumlah produksi makanan adalah bagaikan deret hitung (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, ...). Logika tersebut sangatlah relevan dengan kondisi saat ini. Terbukti ketahanan pangan kita sudah semakin merosot, kita seakan kecanduan dengan barang impor agar kebutuhan pangan masyarakat tetap terpenuhi. Lahan pertanian sebagai sumber produksi pangan telah banyak tergusur oleh pemukiman-pemukiman baru. Dapat dibayangkan, jika laju pertumbuhan penduduk tak dapat terkendali, maka akses kesehatan, pangan, pendidikan dan lapangan kerja akan semakin terbatas. Sehingga akan berujung pada bencana sosial ekonomi yang amat kompleks, terutama masalah kemiskinan dan kelaparan. Apalagi ledakan penduduk sebagian besar terjadi pada masyarakat miskin.
Galakkan kembali KB
Program KB tidak saja menurunkan tingkat laju pertumbuhan penduduk, tetapi juga mengubah pandangan hidup penduduk terhadap nilai anak serta kesejahteraan ketahanan keluarga. Pada dasarnya, KB mempunyai dua sasaran yang harus dicapai, yaitu meliputi pengaturan kelahiran dan pendewasaan usia perkawinan, juga sasaran kualitatif seperti bagaimana asupan gizi bagi tumbuh kembang anaknya dan kebutuhan akan pendidikannya.
Perencanaan pembangunan positif yang dimulai dari unit sosial terkecil (keluarga) ini tentu akan segaris dengan kemajuan pembangunan yang lebih luas. Masyarakat yang Keluarganya terencana dengan baik sejak dini akan lebih mudah untuk mencetaknya menjadi SDM yang berkualitas dan berdaya saing. Dengan demikian, maka peningkatan angka bencana sosial ekonomi seperti kelaparan, kemiskinan, kebodohan, kriminalitas serta pengangguran dapat dicegah secara optimal.
Maka dari itu, Program KB ini tidak boleh dibiarkan terus menerus jalan ditempat. Perlu komitmen dan upaya yang serius dari pemerintah agar program KB dapat bergema kembali. Selain menambah tenaga penyuluh lapangan KB (PLKB), BKKBN harus berupaya membangkitkan kembali program KB dengan bekerja sama berbagai pihak seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, pers dan tim penggerak PKK. Hal tersebut bertujuan agar yang berpartisipasi aktif sebagai akseptor KB tidak hanya dari kalangan menengah ke atas, tetapi juga kalangan keluarga miskin yang notabene menjadi pendorong tingginya pertumbuhan penduduk.
Jika sosialisasi program KB dapat berjalan sebagaimana mestinya, maka kesadaran masyarakat untuk berkeluarga secara terencana dan mapan akan tumbuh kembali. Dengan begitu bayangan bencana sosial yang lebih parah akibat ledakan penduduk tidak perlu dirisaukan lagi. Asalkan ada konsistensi berpikir dan bertindak dari pihak yang diberi amanah untuk mensejahterakan masyarakatnya. Semoga.
Category:
Category:
Category:
Membaca-Menulis merupakan siklus ilmu yang universal, sebuah kemampuan dasar yang diajar institusi pendidikan di seluruh dunia. Membaca tidak saja dari buku, ia dapat berasal dari manapun; kejadian alam, interaksi sosial, atau pengalaman unik lainnya. Pada dasarnya, membaca mengolah nalar intelektual kita, menyelami mata batin kita, sehingga serapan ilmu yang masuk membuat kita merasa lebih hidup serta menghargainya.
Sedangkan menulis, adalah refleksi pembacaan kita yang menyatu dalam teks.
Category: