Kembali Kepada Kearifan Lokal

Solopos, 24 Februari 2009

“Apabila pohon terakhir sudah dibabat, burung terakhir sudah ditembak, ikan terakhir sudah dipancing, dan sungai terakhir sudah menjadi kering, manusia toh tidak bisa makan uang”. Demikianlah ungkapan green peace dalam memandang hubungan manusia dengan alam yang semakin tidak harmonis. Manusia yang memiliki kehendak bebas (free will) melalui kekuatan akal-pikir, telah mengeksploitasi alam tanpa batas. Akibatnya, alam bereaksi dengan meluapkan aneka bencana kepada manusia.

Dampak perubahan iklim (climate change) telah menyebabkan banjir di wilayah pantai, kerusakan hutan/degradasi lahan dan deforestasi menyebabkan banjir bandang (flash flood), Bencana angin ribut (hujan lebat disertai angin kencang) makin sering terjadi akibat perbedaan tekanan udara dan perubahan penggunaan lahan, dan masalah klasik akibat kebakaran hutan dan lahan gambut telah menyebabkan kabut kembali malanda Sumatera dan Kalimantan.

Sungguh ironis, limpahan potensi alam di negeri ini yang seharusnya menjadi sumber kesejahteraan rakyatnya, malah menjadi momok menakutkan yang sewaktu-waktu dapat mengancam jiwa mereka. “Potensi kekayaan alam” seolah telah menjelma menjadi “potensi bencana alam”. Bahkan orang yang tak pernah terlibat ataupun menikmati langsung hasil dari eksploitasi alam, terpaksa harus turut merasakan penderitaan karena bencana. Jikalah kerugian fisik akibat bencana alam dapat dihitung dan dibangun kembali, tetapi bagaimanakah dampak non-fisik seperti traumatik, kehilangan mata pencaharian, jumlah anak yatim piatu dan masalah sosial lain, tentu tidak akan selesai dengan sekejap.

Memang, harus kita akui pembangunan atas dasar modernisasi tengah dilakukan pemerintah dalam rangka mensejahterakan masyarakat. Tetapi di sisi lain, berbagai perusakan dan penghancuran ekosistem alam berjalan lebih kuat. Ekploitasi alam kerap tidak memerhatikan prinsip keberlanjutan di lingkungan sekitar pembangunan. Sebagai contoh, penambangan emas tanpa izin (PETI) berlangsung tanpa kendali membuat merkuri mencemari sungai. Padahal, sungai merupakan sumber kebutuhan hidup masyarakat, baik sebagai sarana transportasi maupun untuk mencuci pakaian, mandi, dan kebutuhan air minum.

Hal yang sama ironisnya dalam kasus tambang, rakyat setempat lebih banyak ditinggali lubang penuh limbah dan lahan yang kritis, sementara keuntungan ekonomis pertambangan lebih banyak dinikmati pemilik modal dan oknum pemerintah yang korup. Sedangkan kerusakan hutan, menurut data Global Forest Resources Assessment 2005 (FAO, 2006) menunjukkan, Indonesia adalah negara kedua yang kehilangan hutan terbanyak di dunia setelah Brasil, yakni 1,871 juta hektare/tahun antara 2000–2005.

Di lingkaran kapitalisme seperti itulah, Alam tidak lagi dipandang sebagai kesatuan yang utuh menyatu bersama masyarakat manusia. Namun, alam cenderung dilihat sebagai sisi lain kehidupan yang bisa dikeruk semaunya demi mendapatkan keuntungan sebesar-sebesarnya. Dengan kata lain, Konservasi lingkungan dan sosial-budaya telah dikorbankan demi kepentingan ekonomi.

Nilai bijak kearifan lokal

Maka dari itu, tindakan kita -sebagai warga negara maupun manusia bebas- hendaknya terus-menerus melakukan proses empati kepada alam. Kerusakan alam karena ulah tangan manusia seharusnya turut dipandang sebagai kehancuran masyarakat manusia. Pola pikir yang partisipatoris membuat manusia juga memikirkan nasib makhluk lain dalam bertindak di muka bumi ini. Pembentukan mindset seperti ini harus dilakukan pemerintah melalui peningkatan kualitas pendidikan yang berbasis kearifan lokal.

Sebenarnya kearifan lokal masyarakat (local wisdom) ini sudah ada di dalam kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman pra-sejarah hingga saat ini, kearifan lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat.

Hanya saja di era teknologi maju ini, nilai-nilai tradisi di daerah-daerah telah diabaikan. Sebut saja salah satu acara pada upacara merti deso atau bersih desa di beberapa desa di Jawa, yakni bersih kali dan bersih lingkungan rumah (merti pomohan). Meskipun upacara adat ini berupa ritual untuk berterimakasih kepada Tuhan karena panen telah berhasil, sekaligus juga menghormati para Hyang-hyang di sungai atau di pohon-pohon besar. Apapun spritual yang hidup dalam upacara itu, tetapi nilai-nilai yang terkandung adalah nilai positif untuk senantiasa menjaga lingkungan hidup.

Contoh lain dapat tersaji dari kearifan lokal suku di Papua yang memegang teguh kaidah ”hutan adalah mama”. Artinya mereka yang menebang hutan, apalagi secara liar atau tanpa izin, sama dengan membunuh ibu mereka. Kearifan lokal milik nenek moyang yang amat mulia dan membawa keseimbangan alam atau hutan itu cenderung dilupakan. Penduduk asli dengan tekun memelihara hutan disekitar tempat hidupnya karena beranggapan hutan adalah sumber kehidupan, anugerah Tuhan. Hutan merupakan lahan komunal, tidak ada seorangpun yang bisa mengklaim kawasan hutan sebagai hak milik individu.

Dengan menerapkan kearifan lokal bukanlah berarti sebuah kemunduran, tetapi sebaliknya kearifan lokal akan membuat kita lebih bijak dalam mengelola alam. Inti kearifan lokal ini adalah bagaimana memandang dan mengelola sumber daya alam itu sedemikian rupa sehingga memberikan perimbangan yang proposional sesuai kebutuhan.

Tanpa mengesampingkan faktor ekonomi, Sumber daya masyarakat lokal beserta kearifannya harus diarahkan untuk membangun manusia yang bermutu; baik secara akal-pikir maupun perilaku. Selain itu juga, kebutuhan mendesak hari ini yaitu penegakan hukum yang total di negeri ini. Hukum yang ditegakkan bukan saja memberikan semacam kepastian pada rakyat. Tetapi lebih dari itu, hak hidup rakyat dalam mencapai kesejahteraan pun harus terpenuhi. Tentu saja kesejahteraan yang tanpa harus dibarengi dengan rasa ketakutan akan bencana.

Category: