Rindu Biru



Seperti laut
Dipandang biru hanya dari jauh
Ombak mendebar deru
Dan muara tetaplah keruh

Seperti Api azula
Sungguh sempurna menghisap udara
Birunya panas nan genas
Menanti tak lekas-lekas

Bagai langit
Siang ia biru membesar pendar
Kala senja, ia lekas menyerah jadi merah

Dan mungkin waktu berwarna biru
Bagi perindu semacam aku
Yang hanya berteduh ditepian tunggu
Dan kau tak tahu tentang itu
Category:

Sudut Desa Itu

1.
Ingin kulewati lagi rasanya
Jembatan yang lebar sedepak
Aspal berlubang nan retak
dan Tanah merah tergenang bagai tambak

Menyaksikan polah yang semarak
Tegur sapa nan bersahaja
Dari sudut desa mewajahkan ramah rasa

2.
Ruang yang berjendela tanpa kaca
Terkadang ada yang berkeluh, kehilangan meja
Atau harus terdesak memetak sila di mushalla
Tapi tak menghalang ilmu dijerang

3.
Di jejer belakang menunduk kantuk
Di baris depan tegak memaksa
Pun Gaduh dari ruang seberang
Rasa risau menggelinjang

4.
Tapi tak lantas kita berhak menyerah
Pada cara yang kita cari
Pada ilmu yang kita nikmati
Pada-Nya akhirnya kita kembali
                                                              Solo, 22 April 2012



Category:

Di Tepi Batas Akal

Jangan desak aku hingga batas akal
Cukup sudah sesal nan terjal pernah menjegal
Karena sekali mengingatmu, akan menduplikasi
Oh, janganlah engkau masuk digerbang emosi
Baik-baik saja sebagai orang yang kukenal
Tanpa harus kuketahui ceruk hati
            Menujumu bagai memulai langkah ke arah ngarai yang tak pernah landai
            Tapi menepismu adalah sama dengan ingkar pada alam
            dan ingkar pada diri sendiri         
Biarkan waktu menengahi
Apa imaji ini benar-benar terjadi









Category:

Di ujung dua ribu sebelas

Pergantian tahun selalu memojokkanku, tentang mimpi yang setengah jadi, tentang harapan yang tak kesampaian, oh dua ribu sebelas, kusyukuri yang terjadi dan tidak terjadi.

Category:

Seberkas Kenang Yang Enggan Hilang (2)

           Aku tidak sedang berada dibawah bayang masa lalu. Hanya saja terkadang rindu membuat mataku sedikit buram, tak bisa membeda mana waktu sekarang dan mana pula yang silam. Rindu itu tidaklah begitu besar, hanya saja ia suka menampar, dan datang dengan potongan-potongan kecil, tapi runcing. Ya, seperti sawang, takkan tahu dengan cara apa ia dibuat, tiba-tiba saja sudah menempel di sudut dinding. 
            Mungkin kekasihku akan cemburu bila ia tahu aku sedang menulis kenangan kita. Tapi tenang, aku sudah menyiapkan jawaban untuk membela keadaan ini. Kau mau tahu? jikalah ingin, tentu aku takkan memberi jawabnya. Pastilah ia sudah tak percaya bila ia membaca tulisan ini. Ha,,ha kita tertawa sajalah. Dan akupun sudah menyiapkan alasan kenapa aku mengajakmu tertawa. 
             Mungkin rasa cinta akan membenciku, kenapa masih saja tak bisa melupa pada yang sudah tak ada. Tapi, aku tak khianat bukan. Toh, aku hanya menulis. Tidak dengan nyata mencari keberadaanmu atau sengaja mencari yang mungkin nyaris kembar denganmu di bumi. Aku hanya mengundangmu datang dalam ingatan sesekali, ketika hatiku benar-benar ingin. Ketika hatiku perlu belajar tentang arti kehilangan. 
             Mungkin huruf-huruf akan jenuh padaku, selalu saja tentang kita yang aku susun jadi paragraf rindu. Padahal, ada banyak hal lain yang bisa disulam jadi rangkai kata. Tapi, aku hanya mengikuti kata hati, membiarkan jari menari sendiri. dan Tak bisa kubendung, masih tentang kita dan kerinduan yang terus mengalir, membanjiri ruang akal. 
Category:

Seberkas Kenang Yang Enggan Hilang (1)

        Kau adalah Besit yang sering datang. Membawa keping bayang yang semarak. Padahal kutahu, kau cuma dipikiranku, bukan disisi tubuh atau di dekat tinjau mataku. Tapi entah, mengundangmu dalam sebuah ruang ingatan, menjadi semacam pengobat luka. Tak jarang aku tersenyum sendiri, meski diakhir lamunan, luka kembali menjadi penutup. Karena kusadar kisah tentang kita sudah benar-benar ditutup. Penutup dari segala penutup. Ya, Tak mungkin diputar meski hanya sedetik tayang.
         Sumpit. Benda itu mengingatku padamu. Kala saku cuma menyimpan dua lembar uang, kita putuskan berjajan mie ayam di pinggir jalan. Meski cuma tepung keriting yang kita santap, tapi selera makan kita tergugah. Karena kita dalam satu meja makan, dalam satu cinta di peraduan. Lalu kau yang bukan seorang pendandan, mulai memperagakan cara memegang sumpit ala orang urban. Dicapit, diputar, secukupnya lalu lahaplah sayang. begitu cara sederhanamu memperagakan. Dan kala pulang, aku sadar, hanya kau yang membuat hal biasa menjadi luar biasa, dengan cinta yang kau punya.
          Goblok. Kata itu mengingatkanku padamu. Kala kita bersitatap, kita tahu sinar itu begitu lekat. Saat Hari-hari membuat kita jemu, selaksa canda kita adu. Meski cuma sepotong upil, tapi itu sudah membuat kita mengurai tawa. Dasar goblok, begitu saja tak bisa kau ini, sayang. Kalimatku tak kau anggap hinaan, tapi justru memancingmu untuk berkata sayang. Ah, tak jarang pula "kata" itu kau lemparkan padaku. Dan entah , aku merasa tersanjung begitu dalam.       
          
Category:

Hatimatika

Jangan kau tambahkan luka yang sudah mengkuadrat ini.
Tak sanggup lagi kucari akar untuk menguranginya.
Dan Jangan kau bagi dengan garis miringmu
Karena sudah kukalikan nol semua angka rindu pada yang lalu.

Jika bangun ruang yang kugaris tak cukup membuatmu senang.
Tak usah cemas, ada lembar lain agar kau tak berpaling
Kau lingkarlah sesukamu, atau kau tandai titik yang sesuai inginmu

Tak usah kau hitung dengan rumus rumit
Karena hati ini tak mengenal limit
Untukmu, cintaku takkan pailit.
Category: