Balik Kampung Tak Tertampung

            Pulang alias balik kampung bisa bermacam maknanya. Jika menyoal kerinduan, jangan tanya. Tak usah menunggu sampai menginjak tanah asal, memegang tiketnyapun kerinduan sudah sedikit terbayar. Namun, Lain soal bila sudah terlalu lama di tanah rantau. Ada dua kemungkinan, bisa ingin segera pulang, (karena saking rindunya) atau sebaliknya, sudah kadung betah di tanah orang dan menjadikan pulang kampung sebagai "merantau" (lagi). Nah, saya termasuk yang punya kemungkinan
ke dua itu. 
           Hanya saja, meskipun saya sudah teramat betah di Solo (7 tahun lebih baru selesai kuliah), tapi saya tetap pulang ke tanah asal, Kalimantan. Faktor ikatan biologi yang menarik saya kembali (alias ortu). Terkadang kompromi keluarga, bisa merubah rencana sebesar apapun. Untuk itulah, saya besar-besarkan hati, meski harus meninggkan mimpi di tanah loh jinawi Surakarta. Karena saya berkeyakinan sedari dulu, ridho Tuhan harus melewati ridho orang tua.
           Sebegitunya pulang, kala itu tepat malam lebaran. Suka cita merebak di dada, 3 tahun dipasung jarak. Rindu itu gegap gempita, bercampur merayakan kemenangan ramadhan dan perkuliahan. Lengkap, sempurna. Lebih bersyukurnya lagi, tak sampai sebulan, sudah ditawari pekerjaan. Menjadi pengajar di Sebuah Universitas Swasta. ibu kota provinsi Tak pikir panjang saya terima. Saya pikir, ini termasuk mobilitas sosial  vertikal pertama yang saya lakoni, dari operator warnet di Solo kemudian jadi dosen tidak tetap. Sedikit demi sedikit saya tak lagi sering membayangkan kerja di jawa. Toh, di tanah sendiri lebih punya potensi. 
          Setali tiga uang, di wilayah dekat rumah (Mempawah), sekolah swasta juga menawari pengabdian sebagai guru. Saya terima, meski tak sesuai jurusan. dan ini menjadi  mobiltitas Horizontal pertama saya di dunia pendidikan. Dari Sosiologi-antropologi ke geografi. Sama posisi, tapi beda arah. tak apa, hitung hitung pengalaman, meski dengan konsekuensi : belajar keras meski tak paham-paham dan sering lupa. 
         Meski dua pekerjaan dikantongi, toh sama seperti pikiran  kebanyakan orang, satu pekerjaan lebih baik asal ia tetap dan Negeri. Untuk itu Tes CPNS saya jalani. dengan harapan menumpuk dan keyakinan dominan (saingan tampak hanya satu orang), Pil pahit pertama harus saya telan. Saya kalah dalam kompetisi. Yah, dengan bebesar hati lagi, saya harus bilang : mungkin lain kali ya Negeri. Khusnuzon pada Tuhan saja,  pasti swasta akan membawa hikmah tersendiri.
        Kembali pada soal balik kampung, anda-anda pasti punya kampung khan. Jika tidak punya, itu omong kosong. Biarpun anda dari jakarta, tetap saja punya kampung. Perlu kita tahu, jakarta itu sendiri adalah perkampungan besar. karena kota sendiri lahir dari kampung (ini saya tahu membaca uku geografi saat menyiapkan materi). Nah, bagi yang ingin pulang, segeralah, kata orang khan lebih baik hujan batu di negeri sendiri dari pada hujan emas di kota lain. tapi bagi yang kadung betah di negeri orang, barangkali saya akan menyusul kemudian, karena selama 7 tahun, saya belum sedikitpun membuat harum nama kampung di sana.  So, biar di kampung tak tertampung (negeri)... bukan alasan mengubur mimpi. seperti kata  Nidji : Mimpi adalah kunci untuk kita menaklukkan dunia... (Mempawah, sabtu malam, 22 januari 2011, 4 bulan 13 hari pulang kampung)
           

Category: