Kebudayaan Masyarakat Irian Jaya
Oleh Yogo Tri Saloko / Mahasiswa UMP Perikanan Pontianak

Wilayah Irian Jaya memiliki sejarah kesenian yang panjang. Sebelum peradaban luar datang, mereka sudah mengenal dan mengembangkan berbagai kesenian lokal. Bagi suku Irian Jaya, kesenian bukan sekadar  ungkapan ekspresi dan estetika, melainkan alat komunikasi dengan alam gaib. Tidak heran bila banyak ritual yang sarat dengan simbol-simbol tertentu yang bermakna sakral.
Suku asli Irian Jaya sekitar 193 suku, di antaranya Asmat, Dani, Imeko, dan lain-lain. Secara geografis, mereka menyebar di tiga wilayah, yaitu pesisir, pedalaman, dan dataran tinggi. Kondisi wilayah dan tempat tinggal yang berbeda mempengaruhi seni dan budaya masyarakatnya sehingga menjadi lebih berkembang dan variatif.
Suku Asmat
Suku Asmat tinggal di antara Suku Mappi, Yohukimo, dan Jayawijaya. Mereka terbagi menjadi dua daerah, yaitu daerah pesisir pantai dan pedalaman. Suku Asmat yang tinggal di pesisir pun terbagi menjadi dua bagian lagi, yaitu suku Bisman di antara Sungai Sinesty dan Sungai Nin serta suku Simai.
Suku Asmat dikenal sebagai suku yang memiliki jiwa seni tinggi. Hasil ukiran kayunya yang unik sudah dikenal luas ke seluruh dunia. Dalam tradisi budaya suku Asmat, bila ada salah satu anggotanya meninggal, akan dikubur dengan iringan nyanyian berbahasa Asmat dan pemotongan ruas jari tangan anggota keluarga yang ditinggalkan.
Bila yang meninggal kepala suku atau kepala adat, mereka akan melakukan pengawetan mayat hingga menjadi mumi yang akan dipajang di depan joglo. Seperti suku Irian Jaya lainnya, suku Asmat mengenal tradisi peperangan antarsuku.
Suku Asmat termasuk suku yang “sadis” dalam hal ini karena setelah berhasil membunuh musuh, mayatnya dipotong dan kepalanya dipenggal. Otaknya dibungkus daun sago. Lalu, dipanggang dan dimakan bersama sambil menyanyikan lagu kematian.
Suku Imeko
Suku Imeko terdapat di bagian selatan Kabupaten Sorong Selatan. IMEKO adalah singkatan dari nama Inanwatan, Metemani, Kokoda. Ketiganya merupakan nama daerah sebaran mereka. Ada enam kelompok etnik di wilayah IMEKO, yaitu Inanwatan, Iwari, Eme, Awe’e, Dema, dan Meybrat.
Suku Imeko terkenal dengan tarian adat yang disebut noabibido, artinya 'tarian goyang panta't. Tarian adat Imeko sering dilaksanakan pada saat-saat tertentu, seperti saat panen tebu dan memasuki rumah baru. Ciri khas tarian ini adalah gerakan-gerakan tangan yang menyerupai gerakan kepakan berbagai macam burung, seperti burung camar, elang, kasuari, atau kanguru.
Suku Dani
Suku Dani hidup di lembah Baliem, Wamena. Mereka tinggal di honai, rumah adat khas suku Dani. Honai terbuat dari jerami atau ilalang berbentuk kerucut. Sejak ratusan tahun lalu, suku Dani dikenal sebagai petani yang terampil. Mereka telah menggunakan perkakas, seperti kapak batu, pisau, bambu, dan tombak. Alat-alat tersebut terbuat dari batu, tulang binatang, dan kayu galian.
Suku Dani memiliki tradisi rekwasi, yaitu upacara tarian keagamaan yang  diiringi nyanyian. Tarian ini merupakan tarian persembahan terhadap nenek moyang dan dilakukan pada saat tertentu, seperti peperangan. Di masa lalu, peperangan sangat erta hubungannya dengan suku Dani. Para prajurit akan dipersenjatai dengan berbagai senjata tradisional khas suku Dani, seperti tombak, kapak, parang, dan panah.
Badan mereka dihiasi tanfa dari lemak babi, kerang, bulu-bulu, kuskus, sagu rekat, getah pohon mangga, dan bunga-bungaan. Sebelum berangkat, mereka mendendangkan nyanyian-nyanyian bersifat heroisme untuk menyemangati dengan diiringi alat musik pikon, satu alat yang diselipkan di antara lubang hidung dan telinga mereka. Pikon juga berfunsi sebagai isyarat kepada teman atau lawan di hutan kala berburu.
Perlu Perhatian Serius
Kesenian dan budaya suku-suku Irian Jaya ini merupakan kekayaan khasanah budaya Indonesia yang akan terkikis habis bila tidak diproteksi. Oleh karena itu, perlu perhatian serius dari pemerintah agar tidak mengalami kepunahan.
Sebagai contoh, dari 190-an bahasa lokal yang pernah ada, 32 bahasa di ambang kepunahan, antara lain bahasa daerah Sarmi, Jayawijaya, Waropen, Metauke, Paniai, Teluk Wondama, Sorong Selatan, dan Fakfak. Sementara delapan bahasa daerah, sudah tidak terselamatkan alias punah. Yaitu, bahasa Bapu, Dabe, Wares, Taworta, Waritai, Murkim, Walak, Meoswar, dan Laganyam.
Selain bahasa, termasuk pula syair-syair purba yang kian lama kian menyusut dan tidak dikenal lagi. Hal tersebut sangat disayangkan karena ragam bahasa daerah erat kaitannya dengan kearifan lokal.
Akan tetapi pemerintah juga harus menangani kebiasaan suku irian yang cendrung gemar berperang agar di hilangkan, karena sekarang bukan lagi jaman purba yang saling berebut kekuasaan.(dikutip dari berbagai Sumber)
Category: