Bagiku Bahasaku, Bagimu Bahasamu, Lalu Bahasa Kita?

            Tak banyak orang berpikir bahwa tinggal di Indonesia itu sebenarnya susah. Selain susah cari kerja atau cari makan, (makanya banyak yang menghambur jadi TKI/TKW). Selain kedua hal itu, susahnya adalah banyak sekali bahasa daerah (sekitar 600-an bahasa daerah). Hal tersebut menjadi kekayaan budaya sekaligus jurang kesesatan dan kesesalan kita. Jika, dibilang kekayaan budaya, sangat benar, karena bahasa sendiri adalah salah satu unsur kebudayaan selain sistem religi, mata pencaharian, teknologi, sistem kekerabatan kesenian dan lain-lain. namun, ragam bahasa juga bisa menjadi peluang kita untuk jadi marah. kenapa demikian.?
            Di suatu pasar, kami yang kala itu masih terhitung hijau di tanah jawa, jadi bahasa kami masih "melayu" betol pokoknye.... kami makan jajanan sambil berbincang (dengan bahasa melayu). Lalu kami membayar 8 ribu per porsi sesuai yang dibilang penjual. tapi setelah pulang, tanya punya tanya dengan kawan, ternyata harga seporsi yang kami makan tadi hanyala 3 ribu. Tak pernah kami menyangka bahwa bahasa kami berpengaruh terhadap kenaikan harga (khusus kami). 3 ribu jadi 8 ribu. Huhhh.. boleh dibilang ini kekesalan urusan perut karena bahasa
               Lalu, berikutnya. saya yang sudah sedikit memahami bahasa jawa di tingkat pendengaran saja( bisa paham, tapi masih kaku mengucapkan). Ketika nenek saya (alm) menyuruh saya makan : "Mangan sik kono" (makan dulu sana). Saya yang mengerti maksudnya, dengan yakinnya menjawab "iyo engko wae" (iya nanti saja). Nenek saya tersenyum. Saya kira ia bangga cucunya bisa berbahasa jawa. Tapi barulah saya tahu bahwa bahasa saya memang tidak salah, tapi kurang tepat untuk orang tua. Semestinya :"mengkeh mawon" kata saudara saya. Upsss... boleh dikata ini adalah kesesatan bahasa urusan kesopanan.
               Kemudian, suatu ketika dikala mengajar di Aliyah di sebuah Pontren, ada beberapa murid yang mempraktekkan bahasa arab dengan bisik-bisik. Saya tersinggung dalam hati, bisa jadi mereka membicarakan saya, entah itu ejekan atau apalah. yang pasti ketidak mengertian bahasa arab, membuat saya  merasa di dzholimi. dan jika dipikir, betapa sering orang menggunakan ketidakmampuan orang lain menggunakan bahasa"aku atau kami"nya untuk mengatai(baca : memperolok) sesuatu.
                Kesimpulannya,  meskipun sudah disepakati bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa "kita" Indonesia. Namun, pada kenyataannya, kekayaaan budaya melalui bahasa, bisa menyulut  "kemiskinan budaya"  ketika disalahgunakan untuk, yaaaaa,,,, menghasut, atau mempermainkan ketidaktahuan pengguna bahasa "unik" lain budaya.(*)
    


           

Category: