ETNIS BUDAYA BETAWI
Oleh : Agung Budiman / Mahasiswa Perikanan UMP Pontianak
sejarah
Diawali
oleh orang Sunda
(mayoritas), sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian Pakuan Pajajaran.
Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia
Timur, dari Malaka
di semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok
serta Gujarat
di India.
Antropolog
Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab,
MA memperkirakan, etnis Betawi baru
terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas
studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Castle. Di zaman
kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan
bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai
golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.
Rumah Bugis di bagian
utara Jl. Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang
dimulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah
seperti ini di daerah Kota. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah
golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Jawa dan Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon
dan Banda,
dan orang Melayu
Suku
Betawi
Pada
tahun 1930,
kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai
kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak
778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia
waktu itu.
Antropolog
Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan
menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis
itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering
menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran,
orang Senen,
atau orang Rawabelong.
Pengakuan
terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan
sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda,
baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh
masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka
merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.
Ada
juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat
campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup
penduduk di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi.
Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa
Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa
nasional.
Selain
itu, perjanjian antara Surawisesa (raja Kerajaan Sunda) dengan bangsa Portugis
pada tahun 1512 yang membolehkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di
Sunda Kalapa mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan
bangsa Portugis yang menurunkan darah campuran Portugis. Dari komunitas ini
lahir musik keroncong.
Setelah kemerdekaan
Sejak
akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta
dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi — dalam arti
apapun juga — tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, 'suku' Betawi mencakup kurang
lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka
semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar
Jakarta. Walaupun sebetulnya, ’suku’ Betawi tidaklah pernah tergusur atau
digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di
Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah
’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara.
Seni dan kebudayaan
Budaya
Jakarta merupakan budaya mestizo, atau sebuah campuran budaya dari beragam etnis. Sejak
zaman Belanda, Jakarta merupakan ibu kota Indonesia yang menarik pendatang dari
dalam dan luar Nusantara. Suku-suku yang mendiami Jakarta antara lain, Jawa,
Sunda,
Minang,
Batak,
dan Bugis.
Selain dari penduduk Nusantara, budaya Jakarta juga banyak menyerap dari budaya
luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.
Suku
Betawi sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk
pendatang. Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di
provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten. Budaya Betawi pun tersingkirkan
oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun budaya barat. Untuk melestarikan
budaya Betawi, didirikanlah cagar budaya
di Situ Babakan.
Bahasa
Sifat
campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang
merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari
daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.
Ada
juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar Batavia
juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut sejarah,
Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura atau Sunda Kalapa, pernah
diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena
itu, tidak heran kalau etnis Sunda di pelabuhan Sunda Kalapa, jauh sebelum
Sumpah Pemuda, sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di
Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
Karena
perbedaan bahasa yang digunakan tersebut maka pada awal abad ke-20,
Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang
berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi (kata turunan dari Batavia). Walau
demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap
dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng
(yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir
menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang
digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik[1]
yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.
Meskipun
bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah
Bahasa Indonesia dialek Betawi.
Musik
Dalam
bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong
yang berasal dari seni musik Tionghoa,
tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab,
Keroncong Tugu dengan
latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor
yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong,
Rebana
Tanjidor
dan Keroncong.
Tari
Seni
tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang
ada di dalamnya. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan
Tiongkok, seperti tari Jaipong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing.
Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama
juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.
Cerita rakyat
Cerita
rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal
seperti Si Pitung, juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen
atau si jampang yang mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan
maupun kehidupannya yang dikenal "keras". Selain mengisahkan jawara
atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima
yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial.
Senjata tradisional
Senjata
khas Jakarta adalah bendo atau golok yang bersarungkan terbuat
dari kayu.
Kepercayaan
Sebagian
besar Orang Betawi menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen;
Protestan
dan Katolik
juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang beragama
Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara
penduduk lokal dengan bangsa Portugis.
Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda mengadakan
perjanjian dengan Portugis yang membolehkan Portugis membangun benteng dan
gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa.
Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu,
Jakarta Utara.
Profesi
Di
Jakarta,
orang Betawi sebelum era pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa profesi
menurut lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing. Semisal di kampung
Kemanggisan dan sekitaran Rawabelong banyak dijumpai para petani kembang
(anggrek, kemboja jepang, dan lain-lain). Dan secara umum banyak menjadi guru,
pengajar, dan pendidik semisal K.H. Djunaedi, K.H. Suit, dll. Profesi pedagang,
pembatik juga banyak dilakoni oleh kaum betawi. Petani dan pekebun juga umum
dilakoni oleh warga Kemanggisan.
Kampung
yang sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para peternak sapi
perah. Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek,
jagoan silat banyak di jumpai disana semisal Ji'ih teman seperjuangan Pitung
dari Rawabelong. Di kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran
sejak zaman Belanda dulu, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak
diragukan. Guru, pengajar, ustadz, dan profesi pedagang eceran juga kerap
dilakoni.
Warga
Tebet aslinya adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat itu
Ganefonya Bung Karno menyebabkan warga Betawi eksodus ke Tebet dan sekitarnya
untuk "terpaksa" memuluskan pembuatan kompleks olahraga Gelora Bung
Karno yang kita kenal sekarang ini. Karena asal-muasal bentukan etnis mereka
adalah multikultur (orang Nusantara, Tionghoa, India, Arab, Belanda, Portugis,
dan lain-lain), profesi masing-masing kaum disesuaikan pada cara pandang
bentukan etnis dan bauran etnis dasar masing-masing.
Perilaku
dan sifat
Asumsi
kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam
segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi
yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb,
dan Fauzi Bowo yang menjadi Gubernur
Jakarta saat ini .
Ada
beberapa hal yang positif dari Betawi antara lain jiwa sosial mereka sangat
tinggi, walaupun kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan
cenderung tendensius. Orang Betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang
tercermin dari ajaran orangtua (terutama yang beragama Islam), kepada
anak-anaknya. Masyarakat Betawi sangat menghargai pluralisme. Hal ini terlihat
dengan hubungan yang baik antara masyarakat Betawi dan pendatang dari luar
Jakarta.
Orang
Betawi sangat menghormati budaya yang mereka warisi. Terbukti dari perilaku
kebanyakan warga yang mesih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan
dari masa ke masa seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain.
Memang
tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat Betawi masa
kini agak terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri (baca :
Jakarta). Namun tetap ada optimisme dari masyarakat Betawi generasi mendatang
yang justru akan menopang modernisasi tersebut.
(dikutip dari berbagai sumber)