Apakah Aku Selingkuh

Berkunjunglah di ranah ini lagi. Ingin kutemui segala bentuk ocehan filusufmu, humor estetismu, dan kritik agamismu. Tatap matamu yang berbinar melewati kaca mata bening sungguh amat kurindukan. Datanglah meski sekejap, seperti dulu, mengomentari judul buku yang tertarik kau beli.
Aku lupa nama lengkap penulis-penulis buku yang membuat Kita berkenalan. Yang kuingat aku menyapamu duluan Di sebuah rak paling sudut, di situ berjejer buku-buku sastra. Mungkin kala itu aku terpaksa melakukan sapaan padamu. Awalnya aku hanya mondar-mandir sambil menunggu kau habiskan membaca buku bagus itu. Lama sekali ini cewek, pikirku.
"Siang, mbak penggila buku Nadya ya?"
"Tidak juga, aku suka karena ia jujur dalam menulis. Dan Ia membeberkan seksualitas sedetil-detilnya. Dan menurut saya itu tidak terkesan Vulgar seperti yang dikatakan banyak orang"
"Emm.. saya tidak bertanya sedetil itu kok. Oh ya.. saya Surya"
"Saya Yuana" telapakmu sungguh halus. Tak seperti kertas, tapi kapas.
Kekesalanku redam karena sikap ramah yang membuatmu tambah cantik. Penampilanmu yang tak seperti kekasihku, menghanyutkan, membuat aku ingin mengenalmu lebih.

Entah kebetulan atau tidak, kita sering bertemu, mengobrolkan kenapa tak ada karya Nadya yang baru, kenapa buku Anton Chekov cepat habis terbeli, mengapa karya Chairil Anwar masih tetap laku. Setelah mengeruk hal-hal tentang penulis terkenal, biasanya kita akan membahas apa itu manusia, apakah Tuhan telah mati seperti yang dikatakan Nietche, apakah moral dapat membasmi kejahatan. Oh.. sungguh obrolan yang mencerahkan.
Meskipun hanya sekejap dapat kurasakan nikmat yang luar biasa dari setiap pertemuan kita. Semua mimik kegembiraan ada di situ. Dan ketika kita saling melepas pulang, maka kerinduanku ini mulai bertumbuh lagi padamu. Dan yang lebih menyakitkan, aku harus kembali menemani kekasihku berbelanja di Mall. Oh tidak. Kenapa dulu aku tak tahu kalau ia penggila keranjang dorong. Padahal saat aku belum punya kekasih, aku dan seorang teman laki-lakiku paling senang berbisik geli. Ya, menertawakan dari jauh pasangan yang kelihatannya berpacaran.
"Kau lihat itu, kasihan ya laki-laki itu. Senyumnya pahit. Tangannya tak bisa lepas dari gandengan ceweknya. Dan Kau lihat apa yang ada di keranjang dorong mereka. Aha..pembalut menumpuk di situ."
"Ya, pasti menyedihkan. Tapi sudahlah. Kita jangan bernyanyi melihat makhluk sejenis kita menderita. Siapa tahu kita akan bernasib sama jika telah punya pacar"
Aku terkena karmanya kini. Barangkali senyumku lebih pahit dibandingkan dengan laki-laki yang dulu aku tertawakan. Bukan hanya pembalut yang ia beli, tapi benda pencuci dari aroma sirih, obat keputihan, kosmetik beragam merk harus kulihat, tanganku tak seperti digandeng olehnya, tapi seperti dirantai!!!
Setelah selesai menemaninya belanja, ia sungguh pandai merayu agar aku tidak kapok menemaninya belanja.
"Sayang, silahkan minta apa saja. Aku tahu kau tak betah tadi"
"Sebungkus rokok saja" jawabku.
"Hu..apakah benda itu saja yang kau inginkan. Apa tidak ada yang lain?. Mubasir khan membakar uang?"
"Tidak mau ya sudah, aku Ikhlas menemanimu"
Walau luluh dengan kata-kataku, Ia sebenarnya kesal karena aku tak menginginkan barang lain yang lebih awet dan tahan lama. Namun, demi manghargaiku, terpaksa atau tidak, ia akhirnya membelikanku rokok seperti permintaanku.
Seperti hari ini, aku bersama kekasihku, mengitari gedung lima lantai yang ber-AC. Kali ini ia tidak membeli pembalut, tapi memuaskan matanya berjalan-jalan melihat benda-benda konsumsi orang kota. Setelah menyeleksi dengan tatapan konsumtifnya, ia memilih mana pakaian minim model terbaru, mana piyama transparan yang seksi. Dan mana-mana barang lain yang membuatnya terpikat.
Hingar bingar Mall membuat Dua jam serasa memenjaraku berminggu-minggu. Ada 6 bungkus plastik putih yang kupegang, sungguh membuatku seperti kurir pengangkut barang di stasiun. Dan bosnya adalah kekasihku sendiri. Meski kesal, Tak pernah kutanyakan mengapa ia begitu boros, aku takut ia tersinggung dan akupun tak dibelikannya rokok. Aku lebih memperdulikan rokok, teman pembuang risau, daripada label lelaki matre yang mungkin hinggap padaku ketika aku minta yang macam-macam.
Kurebahkan diri di sebuah kasur kecil. Dalam lelah sepulang mengantar Bos besar yang sering kujilat dengan kata sayang itu, aku malah mengingatmu. Ya, aku mengingatmu,Yuana. Kekasihku yang feminis habis tersebut, tak ada sama sekali dalam penerawangan alam pikiranku.
Kedua lututku berdiri tegak menyangga kepala yang tertunduk melamun. Aku merasa bersamamu, kumenemukan dunia impian yang membawaku pada wicara yang membangun. Tak ada cinta, hanya kekaguman dari kecerdasanmu. Sampai rokok ke tujuh yang kusulut, akhirnya kuputuskan menelpon. Aku ingin bertemu denganmu di tempat biasa, Toko Buku. Tapi tiba-tiba keraguan muncul berhamburan mencegah keinginanku. Aku merasa, jika aku menemuimu, maka aku telah mengkhianati kekasihku. Dengan kata lain, aku berselingkuh. Atau setidaknya aku mencoba melakukan perencanaan perselingkuhan. Sudahlah, sebaiknya aku tidur saja. Siapa tahu dalam mimpi, aku melihat kekasihku menjelma menjadi yuana. Di sana aku akan berjalan dengan kekasihku di Toko buku, membicarakan Penulis hebat, buku terbaru, buku bestseller dan novel klasik yang menarik.
Gerimis datang sebentar. Langit hening sejenak dan tiba-tiba saja hujan deras mengguyur apa saja yang di bawahnya.
Aku seperti didendangkan musik. Ya, musik alam yang membuat mataku akhirnya redup di sebuah tilam kecil.
**
Baru dua jam aku tidur, hujan telah berhenti. Aku terjaga oleh musik dering Hpku.
"Mas, tolong antarkan aku ya" suara perintah itu kembali mengacaukan tidurku.
"Kemana? Semua Mall di kota ini sudah kita jelajahi selama kita pacaran, apakah kau tidak bosan?"
"Hey.. ada apa ini, mengapa pertanyaan itu baru kudengar?"
"Aku bosan, muak, jengah, sudahlah kau ajak temanmu saja. Aku masih ngantuk."
"Ucapanmu kasar sekali, tak seperti biasanya. Kalau begitu, Baiklah, lanjutkan saja tidurmu."
Aku tak peduli lagi mau kemana kekasihku. Aku sudah terlalu sabar dengan hidupnya yang penuh Hura-hura dan keramaian. Lebih baik Aku melanjutkan lagi mimpiku yang tadi terhenti. Dan tahukah apa yang ada dalam mimpiku tadi, kekasihku menjelma menjadi Yuana yang kutu buku. Oho..menyenangkan sekali. Tapi, apakah mimpi yang terhenti dapat berlanjut?. Kalaupun bisa, pastilah jarang terjadi.
Aneh memang. Sesuatu yang jarang itu ternyata kudapati. Mimpiku bersambung. Kekasihku hampir sama dengan Yuana, berkacamata dengan stelan kaos oblong dan celana jeans tidak terlalu ketat. Tasnya tidak bermotif kembang seperti di dunia nyata, tapi modelnya mirip tas saku pendaki gunung. Aha... penampilannya tidak feminis benar, tapi ia sangat cantik menurutku.
Hatiku gamang, carut marut merasuki segenap perasaan. Tiba-tiba rasa bersalah bermunculan dibenakku. Oh... aku harus menghentikan mimpi ini, berkhianat namanya jika aku terbuai di dalamnya. Akulah pencetak mimpi itu, dan aku harus segera membubarkan mimpi yang baru kusadari adalah bentuk harapanku yang pupus di dunia nyata. Aku tak boleh membuat kekasihku sama persis penampilan, gaya bahasa, perilakunya dengan Yuana. Aku masih mencintai kekasihku, tapi bukankah aku merasa nyaman dengan segala hal yang dikesankan oleh Yuana? Nah, aku tambah bingung kini, apa aku harus mendobrak ketidakterjagaanku ini? Ya, sisi lain yang sangat kuat, memang aku masih berharap kekasihku sedikit menyerupai Yuana, paling tidak ia bukan tukang belanja. Kalau boleh minta lebih, aku juga ingin kekasihku punya pola pikir yang matang layaknya Yuana. Tidak manja dan penuh emosional.
Ah... sudahlah aku hentikan atau tidak mimpi ini, toh nanti pada akhirnya aku akan terjaga ketika alarmku berbunyi lantang. Artinya biarkan saja mimpi ini apa adanya. Mau dibilang selingkuh, terserah. Mau dibilang pasrah, ya tidak mengapa. Biarkan saja ia mengalir semaunya. Mau ada kuda terbang, istana, mahkota, kucing yang bicara atau tanduk yang tumbuh di antara anak rambutku, aku sudah tak peduli lagi. Yang penting aku sadar kalau itu hanya mimpi semata. Memang baru ini, aku punya kesadaran di dalam mimpi, biasanya aku selalu menganggap kalau kuda terbang, istana, mahkota, kucing yang bicara atau tanduk yang tumbuh di antara anak rambutku, benar-benar nyata. Dan aku baru menyadarinya kalau itu mimpi ketika cahaya memaksa mataku terbuka.
Cukup lama cerita mimpi itu berlangsung, kira-kira dari jam delapan malam sampai subuh menjelang pagi. Dan kini Lega rasanya saat telah terjaga. Pagi mengirim cahaya terbaiknya menerobos lubang ventilasi jendela. Aku telah kembali dalam dunia nyata. Kulangkahkan kaki menuju luar kamar. Dengan mengucek mata aku tak percaya kalau kekasihku sudah tampak murung di sofa ruang tamu. Kapan ia datang, kenapa pula tak berusaha membangunkanku?. Ada apa ini? Tak biasanya ia datang tiba-tiba dan dengan wajah masam pula. Pasti ada hal yang membentuknya garis wajahnya tampak jelek itu. Tak ada senyum meski secuil.
"Aku ingin kita putus" airmatamu tiba-tiba membanjiri rasa bingungku.
"Hey... ada apa kau ini? Belum juga sempat mengucapkan selamat pagi, tiba-tiba saja kau berkata seperti itu?"
"Kau telah mengkhianatiku, kau sudah selingkuh!"
"Apa buktinya?" aku menjawab dengan tenang, karena aku memang tak merasa melakukan selingkuh ataupun telah menduakannya, kecuali dalam mimpi. Apa salahnya selingkuh dalam mimpi?. Orang lainpun kurasa pernah mengalaminya. Dan aku tahu mimpi tak selamanya harus diceritakan pada orang lain. Dan satu lagi, yang kuajak kencan dalam mimpi semalampun itu adalah kekasihku sendiri. Hanya karakternya saja yang seperti orang lain, yakni Yuana, gadis idealku.
"Mimpimu semalam. Tadi ketika aku ke kamarmu, kulihat dan kudengar engkau menyebut-nyebut nama wanita lain."
"Ha... kau ini aneh. Sungguh sangat amat aneh sekali. Ayolah jangan bercanda."
"Aku tidak bercanda, aku benar-benar mendengar igauanmu barusan"
Aku amat bingung dengan situasi seperti ini, apa yang dikatakan kekasihku sepenuhnya benar. Tapi itu hanya mimpi.
"Baiklah aku akui aku bermimpi seperti yang kau katakan. Ya, aku mengalaminya tadi malam. Tapi apakah ini adil jika keadaan mimpi harus dibayar kesalahannya dalam kenyataan?"
"Bagiku adil, karena menurutku mimpimu adalah separuh kenyataan dari harapanmu selama ini. Ya, kau tak mencintaiku lagi"
Esok harinya kutemui lagi engkau di tempat biasa. Kekasihku kini telah pergi, karena kesetiaanku telah gagal dalam mimpi dan kenyataan. Ia tak percaya padaku karena mimpi selingkuhku yang seharusnya tak dirisaukannya. Tapi sudahlah, dari pada mengejar kembali yang sudah berlalu, lebih baik aku berusaha mewujudkan mimpiku semalam benar-benar nyata. Dan kulihat engkau memupuskan harapan keduaku. Engkau bergandeng mesra dengan laki-laki berkacamata di antara rak-rak buku.
"Engkau Selingkuh" umpatku dalam hati. Tapi kapan aku jadi milikmu, yuana?**
SOLO, 13 Desember 2006 
Sumber : Sriti
Category: